Selasa, 11 Oktober 2011

X-Men: First Class(sejarah mutan pertamakali)


X-Men: First Class(sejarah mutan pertamakali)



Selalu ada jalan untuk memperpanjang umur kesuksesan sebuah franchise,
tanyakan saja pada Hollywood, mereka punya 1001 cara untuk melakukannya,
terutama jika wara laba itu sekuat X-men, salah satu adapatasi dari
komik supehero laris yang memiliki memiliki basis penggemar luar biasa
di seluruh dunia dan disisi lain juga terbukti sukses menebalkan isi
dompet para orang-orang yang terlibat didalamnya, apalagi kisah X-men
dengan bertabur karakter hebat didalamnya memiliki potensi bagus untuk
dikembangkan lebih jauh. Maka hanya dengan sebuah trilogi (X-men. X2:
X-Men United, X-men: The Last Stand (2000-2006)) plus satu buah spin off
(X-Men Origins: Wolverine (2009)) saja sepertinya masih tidak cukup
memuaskan para petinggi 20th Century Fox dan Marvel Studio. Dan belajar
dari ‘kegagalan’ X-Men Origins: Wolverine, maka alih-alih memilih salah
satu dari puluhan mutant untuk dibuat kisahnya sendiri, mereka
memutuskan ‘melanjutkan’ rangkaian rekaan Stan Lee dan Jack Kirby nya
dalam sebuah prekuel yang juga menjadi sebuah reboot halus.

Sebagai prekuel, X-Men: First Class akan menarik kisahnya puluhan tahun
ke kebelakang dari tiga pradesesornya, tepatnya mengambil seting pada
tahun 60an di era perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika dengan
segala konflik nuklirnya. Fokusnya tentu saja kepada dua karakter utama
kita, calon pendiri dua kubu besar mutan dimasa depan, X-men dan
Brotherhood of The Mutants, Dr. Charles Xavier (James McAvoy) dan Erik
Lensherr (Michael Fassbender) disaat mereka muda, masih bersahabat dan
saling bahu membahu mencegah ambisi pimpinan Hellfire Club, mantan nazi,
mentor Erik Lensherr dan juga seorang mutan kejam dengan kemampuan luar
biasa, Sebastian Shaw (Kevin Bacon) dalam usahanya untuk memicu perang
dunia ke 3.

Akhirnya, setelah The Last Stand yang mengecewakan dan Wolverine yang
teruk itu, Matthew Vaughn membawa para mutant Marvel ini kembali lagi ke
jalan yang benar. Begitu banyak kesenangan yang bisa saya dapati dalam
reboot franchise terbaik setelah Star Trek milik J.J Abrams 2009 lalu,
sebut saja Rose Byrne dengan lingerie-nya, Kevin Bacon menjadi mutan
nazi, seting klasik-modern era Kennedy, krisis misil Kuba yang
mengingatkan saya pada film-film Bond era itu lengkap dengan kehadiran
kapal selamnya, kemuculan mutant-mutant ‘baru’ dan kemegahan spesial
efeknya yang memanjakan mata, tapi tetap saja saja pada akhirnya
hidangan utama yang ditawarkan First Class adalah kisahnya itu sendiri.
Sebuah kisah kelam dari naskah yang diadaptasi dengan cerdas oleh trio
screenwriternya dari cerita milik Bryan Singer, kisah tentang bagaimana
awal mulanya dua tokoh penting dunia X-men bertemu, menjalin
persahabatan, hingga kemudian harus berpisah jalan karena berseberangan
ideologi, menjadikan mereka Professor X dan Magneto seperti yang kini
kita ketahui bersama, seteru abadi. Jadi tidak lagi ada Logan a.k.a
Wolverine yang ditiga film pertamanya kerap kali mengambil porsi besar
cerita, sebaliknya mutant bercambang itu hanya dijadikan cameo disini.

Memang skema ‘kawan jadi lawan’ mungkin bukan sesutu yang baru lagi di
dunia per-superhero-an, ada Peter Parker dan Harry Osborn serta Clark
Kent dan Lex Luthor yang sudah memulainya terlebih dahulu, namun
bagaimana kedua karakter bertolak belakang disini ‘lahir’, berkembang,
berinteraksi dan saling merubah kepribadian masing-masing lah yang
kemudian membuat kisah First Class menjadi terasa lebih berat dan
lebih manusiawi dari para pendahulunya. Apalagi faktanya duet McAvoy dan
Fassbender sukses membawakan karakternya mereka masing-masing dalam
takaran yang pas serta chemistry kuat, memberikan nuansa baru pada
karakter Charles Xavier dan Erik Lensherr muda dengan segala gejolak dan
idealisme mereka masing-masing.

Disisi lain jajaran supporting cast-nya yang nyaris sebagaian besar
disini para aktor dan aktris muda juga tidak mau kalah unjuk gigi. Tentu
saja Kevin Bacon yang paling menonjol dengan segala kelicikan dan
kekejamannya sebagai Sebastian Shaw, orang yang paling bertangung jawab
atas lahirnya sosok besar ‘Magneto’, penampilannya sebagai main villian
itu sudah sedikit banyak menutupi kekurangan ketiga anak buahnya, si
iblis Azazel (Jason Flemyng) dengan kemampuan teleportnya, Riptide (Álex
González) pembuat tornado yang mengecewakan termasuk karakter Emma
Frost yang seharunya bisa lebih dimaksimalkan lagi oleh January Jones.
Porsi lebih juga diberikan kepada Jenifer Lawrance yang membawakan Raven
muda, atau biasa kita kenal dengan julukan Mystique dengan baik, ada
juga perubahan karakter menarik dari Nicholas Hoult dalam prosesnya
menjadi monster biru, Beast. Celeb Landry Jones memberikan humor pada
Banshee, Zoe Kravitz yang sedikit memaksa sebagai Angel dan masih ada
Havoc (Lucas Till) yang mengingatkan saya pada karakter Cyclops, Darwin,
karater yang sebenarnya menarik, sayang porsinya kelewat sedikit dan
last but not least ada si cantik Rose Byrne sebagai agen CIA, Moira
MacTaggert sekaligus love interest Charles Xavier.

Lewat X-Men: First Class semakin membuktikan bahwa Matthew Vaughn dan
komik sepertinya adalah pasangan serasi. Walaupun secara keseluruhan
kualitasnya masih berada di bawah X2, tapi jelas Vaughn telah membayar
tuntas kepercayaan yang diberikan Bryan Singer kepadanya. Ya, ini adalah
sebuah sebuah reboot hebat, sebuah prekuel luar biasa, sebuah sugguhan
summer movie ‘first class’ dengan segala kemeriah spesial efeknya,
komposisi cast apik dan yang paling penting X-Men: First Class sudah
siap memulai saga X-men yang baru. Jadi ingin tahu kenapa Professor X
harus duduk di kursi roda? Darimana Magneto medapatkan helmnya?
Bagaimana konsep awal Cerebro? Bagaimana lahirnya sosok Beast? atau
kenapa Mystique sampai mau mengikuti Magneto? Tonton saja salah satu
film paling keren tahun ini.

0 komentar:

Posting Komentar