Rabu, 12 Oktober 2011

Budayakan untuk sering membaca buku

Budayakan untuk sering membaca buku

Sering membaca, membuat pengetahuan bertambah luas

Taufiq Ismail, penyair dan tokoh sastra
Indonesia menuturkan salah satu keprihatinannya terhadap negeri
Indonesia yakni terkait budaya membaca. Budaya membaca dari penduduk
Indonesia masih begitu miris dan teriris. Terkait dengan pelajaran
sastra, Taufiq Ismail yang melakukan studi komparasi mengenai banyaknya
bacaan yang lunas dibaca oleh para pelajar di berbagai belahan dunia,
mencapai satu konklusi bahwa budaya membaca pelajar Indonesia ialah
generasi 0 buku. Hal ini mengindikasikan betapa rendahnya tingkat
keterbacaan dari penduduk negeri ini.

Telah 66 tahun negeri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Penjajahan
yang salah satu divisi destruktifnya yaitu berupa pendidikan yang tidak
dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Penjajahan hanya memberikan
keistimewaan mengenyam pendidikan bagi kalangan atas yang memiliki trah
baik itu darah biru ataupun pegawai di pemerintah kolonial Belanda.
Peran penting pendidikan bagi Indonesia untuk kemudian mendapat tempat
dalam konstitusi negeri ini. Dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni Pasal
31 ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang. Hal yang semakin memperkokoh mengenai
pentingnya pendidikan bagi pembangunan jiwa dan raga yang utuh.

Salah satu parameter dari pendidikan ialah tingkat keterbacaan. Tingkat
keterbacaan merupakan hulu bagi berbagai macam hilir. Sebut saja tingkat
karya tulis yang dihasilkan, tingkat pengetahuan dari pelajar, dan
sebagainya. Adalah ironis mengingat dari hasil studi yang dilakukan oleh
Taufiq Ismail sehingga muncul istilah generasi 0 buku. Generasi 0 buku
ini membawa implikasi yang dengan sastrais (namun satir) diungkap oleh
Taufiq Ismail sebagai rabun membaca dan pincang menulis.

Terlebih lagi di era sekarang ini, budaya membaca memiliki hambatan
yakni sekurangnya dari televisi dan internet. Televisi, kotak ajaib yang
bisa jadi merupakan kotak pandora bagi budaya membaca. Massifikasi
televisi dan budaya menonton televisi seperti diakui oleh Taufiq Ismail
bahkan merupakan masalah global yang menggerus budaya baca di seluruh
dunia. Bagaimana tampilan audio visual mampu memikat begitu banyak jiwa
untuk menjadi kafilah di depan televisi dalam bilangan waktu yang
intens. Magnet televisi begitu kuat untuk menghadirkan kafilah penonton
layar kacanya. Dalam skala berlebih tontonan televisi menurut hemat Saya
dapat dianalogikan dengan panggilan nyanyian para Siren yang dapat
mengaramkan seseorang. Dalam mitologi Yunani, panggilan para Siren
begitu memikat sehingga mengaburkan rasio dan menjadikan para pelaut
menemui ajalnya.

Hambatan lainnya dari membaca yakni internet. Simak angka yang
dituturkan oleh Rhenald Kasali berikut: Indonesia di awal abad 21 yakni
180 juta ponsel di saku penduduknya, 50% diantaranya smart phone yang
layak berinternet. Ditambah dengan kegiatan freemium. Produk
premium-free of charge seperti Google, Yahoo!, Facebook, Wikipedia,
Detik.com, Kompas Online, Kaskus dan sebagainya. Pada bulan Agustus
2010, terdapat 26.792.780 peserta Facebook dari Indonesia. Berdasarkan
data pada Juni 2010, penetrasi pemakai jejaring sosial Twitter tumbuh
terbesar di Indonesia (20,8 % dari interner users). Internet yang telah
meluas dan menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia merupakan
potensi bagi penggerusan secara serius budaya baca. Tenggelam dalam
kegaduhan dunia internet, baik itu dengan jaring pertemanan sosial dan
fitur-fitur lainnya yang dapat diakses melalui internet, menjadikan jam
dari kehidupan kita tercaplok dan kita pun terlupa dalam membaca.

Tantangan dari budaya membaca juga dapat hadir dalam sesuatu yang Saya
istilahkan “Budaya membaca seadanya.” Budaya membaca seadanya menurut
hemat Saya dapat mendangkalkan pemikiran. Apa itu Budaya membaca
seadanya? Budaya membaca seadanya ialah hanya membaca potongan-potongan
berita singkat. Kehadiran portal-portal berita di internet serta
pencarian data via Google menurut pandangan Saya bisa jadi membentuk
budaya membaca seadanya. Panjang tulisan dari satu artikel di portal
berita internet biasanya singkat. Dikarenakan untuk memberikan informasi
tentang hal yang diberitakan. Sedangkan konstruksi dari ide akan
terputus dikarenakan sempitnya ruang yang disediakan. Dengan demikian
berita-berita instan tersebut menjadi konsumsi. Apa akibatnya dalam
jangka panjang? Membaca bukan sekedar berdampak sekarang (present),
melainkan akan berimplikasi di hari depan.


Terbiasa membaca dalam info-info singkat tersebut akan membentuk
adaptasi terhadap pola baca. Maka ketika muncul bacaan yang panjang
dengan konstruksi ide yang berlapis akan muncul keengganan untuk
membaca. Ah.. lebih enak membaca yang singkat-singkat saja, buat apa
memusing-musingkan kepala; begitu menurut hemat Saya untaian kalimat
yang dapat terlontar sebagai implikasi dari pembacaan berita-berita
instan dan singkat. Jika demikian yang terbentuk dalam budaya baca di
kebanyakan orang, akan berbias pada budaya tulis pula. Tulisan-tulisan
yang hanya sepotongan kalimat akan menjadi gaya tulisan yang akrab
dibaca. Apalagi hal tersebut secara tidak langsung didukung oleh Twitter
(140 karakter), ataupun Facebook.

Terkait dengan tulisan yang diturunkan dengan kondisi baca tersebut,
rasanya tidak perlu mengecilkan hati bagi mereka yang hobi menulis.
Bolehlah saya kutipkan apa yang diungkap oleh Mohammad Hatta dalam
otobiografinya:Kalau anggota-anggota biasa daripada pergerakan kita
payah membaca isi Daulat Ra’yat, apakah pemandangan-pemandangan yang
berdasarkan teori tidak mesti dimuat lagi? Itu merugikan bagi pergerakan
kita! Bukan majalah ditarik ke bawah, melainkan orang banyak dihela ke
atas. Payah membaca itu sama artinya dengan sport otak.

Apa yang diungkap oleh Hatta tersebut, merupakan pandangannya bahwa
sudah semestinya bagi yang memiliki kemampuan dalam menulis untuk
memberikan tambahan pengetahuan, tambahan pengertian, dan tambahan
keinsafan kepada khalayak lainnya.

Setiap zaman memang memiliki tantangan dan dinamikanya. Dan untuk
menjawab tantangan dan dinamika zaman tersebut membaca merupakan kutub
bagi penyelesaian masalah yang berlipat. Budaya membaca bagi rakyat
Indonesia seperti disinggung dalam karangan ini juga mengalami tantangan
terkait dengan eranya. Semoga karangan ini bermanfaat kiranya dan
memberikan sesuatu. Terakhir, sebagai penutup, izinkan Saya
bertanya,”Sudah berapa buku yang anda tamatkan tahun ini?”

Referensi Karangan:Irsyad Sudiro (Gagasan Gerakan Masyarakat Peduli
Akhlak Mulia), Mohammad Hatta (Untuk Negeriku), Rhenald Kasali (Cracking
Zone), Rick Riordan (Percy Jackson-Lautan Monster), Lebih Dekat dengan
Taufiq Ismail di salah satu acara televisi dan seminar, Koran Republika
Edisi Ahad 28 Agustus 2011.

sumber :http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/05/budaya-membaca-dan-gangguannya/

0 komentar:

Posting Komentar